Kenapa Garuda Indonesia Selalu Rugi: Mengupas Luka Lama Maskapai Kebanggaan Negeri

Garuda Indonesia selalu rugi, Garuda Indonesia, maskapai kebanggaan nasional, kerap kali menjadi sorotan bukan karena prestasi melainkan karena laporan keuangannya yang terus mencatat kerugian. Masyarakat pun bertanya-tanya, mengapa perusahaan sebesar Garuda bisa terus-menerus merugi? Banyak faktor yang saling terkait dan menjadi penyebab utamanya. Pertama, struktur biaya operasional Garuda tergolong sangat tinggi. Biaya bahan bakar, pemeliharaan pesawat, hingga gaji dan tunjangan pegawai menjadi beban utama yang sulit ditekan. Dalam banyak kasus, biaya tersebut tidak sebanding dengan pendapatan dari tiket yang dijual. Persaingan dengan maskapai lain, terutama yang berbiaya rendah seperti AirAsia dan Lion Air, membuat Garuda tidak leluasa menaikkan harga tiket.

Kedua, manajemen yang buruk menjadi masalah laten. Pergantian direksi yang terlalu sering menyebabkan kebijakan strategis Garuda tidak berjalan konsisten. Setiap manajemen baru membawa visi berbeda tanpa kesinambungan yang jelas. Akibatnya, perusahaan kehilangan arah dan kesulitan untuk bangkit dari kerugian.

Faktor lainnya adalah beban utang yang besar. Garuda Indonesia pernah terjerat skandal laporan keuangan yang memanipulasi data untuk menutupi kerugian. Ini menambah citra negatif dan mengikis kepercayaan investor. Saat perusahaan perlu tambahan modal atau dukungan, tidak banyak pihak yang percaya dengan transparansi dan integritas keuangan Garuda.

Tak hanya itu, pandemi COVID-19 memperparah situasi. Dengan pembatasan perjalanan dan anjloknya jumlah penumpang, pendapatan Garuda ambruk. Meski sektor aviasi mulai pulih, Garuda masih terjebak dalam perbaikan internal yang rumit dan lamban.

Warisan Masalah dari Masa Lalu

Garuda Indonesia mewarisi banyak beban dari masa lalu. Sejak awal 2000-an, manajemen maskapai ini sering mengambil keputusan yang kurang tepat. Mereka membeli pesawat dalam jumlah besar dengan skema leasing yang membebani kas perusahaan. Garuda juga pernah terjerat kontrak tidak menguntungkan dengan pihak luar yang akhirnya merugikan perusahaan selama bertahun-tahun.

Manajemen Garuda beberapa kali gonta-ganti, namun pola pengambilan keputusannya tidak banyak berubah. Setiap pergantian direksi membawa visi baru, tetapi tidak menyelesaikan akar permasalahan. Garuda tidak hanya mewarisi utang, tetapi juga budaya kerja yang boros dan tidak efisien.

Biaya Operasional Melambung

Garuda Indonesia harus mengeluarkan biaya operasional yang jauh lebih tinggi dibandingkan maskapai sekelasnya. Penyebabnya antara lain adalah leasing pesawat yang mahal, harga avtur yang tinggi, serta biaya layanan bandara dan ground handling yang tidak terkendali.

Maskapai ini juga mengoperasikan armada yang terlalu beragam, dari Boeing, Airbus, hingga ATR. Variasi pesawat tersebut meningkatkan biaya pelatihan kru, perawatan, dan suku cadang. Ketika maskapai lain seperti AirAsia memilih jenis pesawat seragam untuk efisiensi, Garuda justru memperumit dirinya sendiri.

Strategi Bisnis yang Tidak Fokus

Manajemen Garuda beberapa kali mengubah fokus bisnisnya. Kadang mereka mencoba menyasar pasar premium, lalu beralih ke kelas menengah, kemudian kembali ke premium. Ketidakkonsistenan ini menciptakan kebingungan di pasar dan merusak loyalitas pelanggan.

Maskapai ini juga gagal memanfaatkan potensi anak usahanya dengan baik. Citilink, sebagai anak perusahaan Garuda, tidak mampu bersaing secara agresif di pasar low-cost carrier (LCC). Padahal, segmen ini justru berkembang pesat di Asia Tenggara.

Selain itu, Garuda membuka banyak rute internasional yang sebenarnya tidak menguntungkan. Mereka mempertahankan rute-rute tersebut demi gengsi nasionalisme, bukan pertimbangan bisnis. Alhasil, banyak penerbangan internasional beroperasi dengan kursi kosong dan membakar dana perusahaan.

Skandal dan Korupsi

Salah satu alasan utama kerugian Garuda adalah terjeratnya perusahaan dalam skandal korupsi. Mantan Direktur Utama Garuda, Emirsyah Satar, terbukti menerima suap terkait pembelian pesawat dari Airbus dan Rolls Royce. Kasus ini tidak hanya merusak reputasi perusahaan, tapi juga menciptakan keputusan bisnis yang merugikan secara jangka panjang.

Akibat korupsi tersebut, Garuda terjebak dalam kontrak leasing yang sangat mahal dan tidak fleksibel. Maskapai ini terpaksa membayar cicilan besar untuk pesawat-pesawat yang tidak selalu dibutuhkan. Bahkan setelah Emirsyah turun, dampak dari kontraknya masih menghantui neraca keuangan Garuda hingga sekarang.

Pandemi Memperparah Luka Lama

Ketika pandemi COVID-19 melanda dunia pada 2020, Garuda Indonesia berada dalam kondisi sangat rapuh. Pembatasan perjalanan internasional dan domestik membuat pendapatan menurun drastis, sementara utang dan beban tetap berjalan.

Garuda tidak mampu memutar bisnis secara cepat seperti maskapai lain. Mereka terlalu bergantung pada rute internasional dan segmen bisnis premium yang lumpuh total. Upaya mengubah pesawat menjadi kargo juga tidak mampu menutup kerugian operasional.

Pemerintah akhirnya harus turun tangan dan memberikan penyelamatan keuangan melalui berbagai skema. Namun, bantuan tersebut tetap tidak cukup untuk mengembalikan Garuda ke jalur untung.

Persaingan Ketat di Pasar Domestik

Pasar domestik Indonesia sangat padat oleh pemain-pemain agresif seperti Lion Air, Batik Air, dan AirAsia Indonesia. Maskapai-maskapai ini menawarkan harga murah dan jadwal padat yang menarik penumpang kelas menengah ke bawah.

Garuda tidak bisa ikut bersaing dalam hal harga karena struktur biaya mereka terlalu tinggi. Meskipun Citilink berusaha menjadi andalan Garuda di pasar LCC, daya saingnya tetap kalah dari pemain besar lainnya. Garuda pun kehilangan pangsa pasar sedikit demi sedikit, dan pendapatan terus menurun.

Beban Gaji dan SDM yang Tidak Produktif

Garuda Indonesia mempekerjakan ribuan karyawan, namun tidak semuanya produktif. Struktur organisasi perusahaan terlalu gemuk dan birokratis. Banyak jabatan tumpang tindih dan tidak efisien.

Gaji dan tunjangan pegawai, terutama yang bekerja di level atas, jauh lebih tinggi dibandingkan maskapai lain di kawasan Asia Tenggara. Hal ini menjadi beban tambahan bagi keuangan perusahaan. Ketika harus melakukan efisiensi, Garuda kerap menghadapi tekanan dari serikat pekerja yang menolak pemutusan hubungan kerja.

Ketergantungan pada Intervensi Pemerintah

Garuda Indonesia selalu berada di bawah bayang-bayang intervensi pemerintah. Meskipun statusnya sebagai BUMN menjadikannya aset negara, terlalu banyak tekanan politik yang mempengaruhi keputusan bisnis.

Setiap momen politik penting, Garuda kerap digunakan sebagai alat pencitraan nasional. Misalnya, penerbangan khusus untuk pemulangan warga atau pengiriman bantuan sering dilaksanakan tanpa pertimbangan bisnis. Hal tersebut menambah beban rugi yang harus ditanggung perusahaan.

Selain itu, proses pengangkatan direksi dan komisaris sering kali melibatkan faktor politik, bukan semata pertimbangan profesionalisme dan kemampuan manajerial.

Restrukturisasi yang Tidak Menyeluruh

Pemerintah dan manajemen baru memang berupaya menyelamatkan Garuda melalui program restrukturisasi. Mereka menegosiasikan ulang kontrak leasing, memangkas rute tidak produktif, dan merumahkan sebagian pegawai.

Namun, banyak pihak menilai restrukturisasi ini tidak menyentuh akar masalah. Garuda tetap mempertahankan beberapa armada mahal, dan belum sepenuhnya bertransformasi menjadi perusahaan yang agile dan efisien. Masih ada beban warisan masa lalu yang belum selesai dibersihkan.

Jalan Keluar: Reformasi Total atau Merger?

Agar bisa kembali untung, Garuda Indonesia perlu reformasi total. Mereka harus berani memangkas unit yang tidak efisien, menyederhanakan armada, dan merekrut manajemen yang benar-benar profesional dan bebas intervensi politik.

Alternatif lainnya adalah merger dengan maskapai lain. Beberapa pengamat menyarankan agar Garuda bergabung dengan Citilink dan Batik Air dalam satu holding besar yang fokus pada efisiensi dan daya saing global. Meski penuh tantangan, langkah ini bisa menjadi jalan keluar bagi kebuntuan finansial Garuda.

Jika tidak ada perubahan besar, Garuda akan terus mengalami kerugian dan hanya hidup dari bantuan pemerintah. Padahal, masyarakat Indonesia pantas memiliki maskapai nasional yang kuat, efisien, dan membanggakan.


Penutup

Garuda Indonesia sebetulnya memiliki peluang untuk bangkit. Maskapai ini masih memiliki citra kuat di mata masyarakat, SDM yang kompeten, dan jaringan rute yang luas. Namun, selama manajemen tidak berani mengambil langkah drastis dan keluar dari jerat masa lalu, Garuda akan terus terjebak dalam siklus kerugian. Sudah saatnya Garuda terbang bukan karena subsidi, tapi karena efisiensi dan inovasi.

Biaya Operasional MelambungGaruda Indonesia selalu rugiStrategi Bisnis yang Tidak FokusWarisan Masalah dari Masa Lalu